Skip to main content

4. Evaluating Design dan Product Thinking



Daftar Isi :


Pengenalan Evaluasi Desain

Apa itu evaluasi desain?

Mengapa evaluasi desain penting dalam pengembangan produk?

Bagaimana evaluasi desain membantu meningkatkan pengalaman pengguna (UI/UX)?


Metode Evaluasi Desain

Usability Testing (Pengujian Kebergunaan)

Expert Review (Ulasan Ahli)

Survei dan Kuesioner


Menggunakan Data Dalam Desain

Penerapan pengumpulan dan analisis data dalam evaluasi desain:

Penggunaan metrik dan indikator untuk mengukur kinerja desain:

Penggunaan A/B testing untuk membandingkan variasi desain:


Iterasi Desain Berdasarkan Hasil Evaluasi

Menggunakan Hasil Evaluasi Desain untuk Perbaikan Desain Berkelanjutan

Mengelola Proses Iterasi dan Pengembangan Berkelanjutan Berdasarkan Evaluasi Desain

Studi Kasus tentang Perbaikan Desain Berdasarkan Evaluasi

What is product thinking?


Why is product thinking important?

Rule #1: Love the problem, not your solution.

Rule #2: Think in products, not in features.

Rule #3: Have your product heuristics in place before writing your first line of code.

How can you cultivate product thinking?

Problem Space Tool #1: 5W1H (What, Who, Why, Where, When, & How)

Problem Space Tool #2: Moms Test (Foolproof your questions)

Referensi 

 


Capaian Pembelajaran:

  1. Mahasiswa mampu mengevaluasi design UI/UX
  2. Mahasiswa mampu menganalisis Product Thinking

 


 

Evaluating Design dan Product Thinking

 

Pengenalan Evaluasi Desain

     Apa itu evaluasi desain?

Evaluasi desain adalah proses untuk mengevaluasi keefektifan dan kemudahan penggunaan desain produk, terutama dalam hal antarmuka pengguna (UI) dan pengalaman pengguna (UX). Jadi, kita lihat seberapa bagus desainnya dan sejauh mana pengguna bisa dengan mudah menggunakannya.

 

     Mengapa evaluasi desain penting dalam pengembangan produk?

Evaluasi desain penting karena membantu memastikan bahwa produk yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pengguna. Dengan mengevaluasi desain, kita dapat mengidentifikasi masalah atau kelemahan dalam pengalaman pengguna, sehingga dapat diperbaiki sebelum produknya diluncurkan. Jadi, kita punya produk yang lebih baik dan bisa bikin pengguna seneng!

 

     Bagaimana evaluasi desain membantu meningkatkan pengalaman pengguna (UI/UX)?

Evaluasi desain membantu kita memahami bagaimana pengguna berinteraksi dengan produk dan mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki. Dengan memperhatikan pengalaman pengguna, kita bisa bikin desain yang lebih intuitif, mudah dipahami, dan nyaman digunakan. Jadi, pengguna bakal senang dan betah pake produk kita.

 

Nah, itu tadi pengenalan tentang evaluasi desain. Evaluasi desain itu penting, ya! Jadi, jangan lupa untuk selalu memperhatikan bagaimana desain kita bisa bikin pengguna nyaman dan senang.

 

Metode Evaluasi Desain

     Usability Testing (Pengujian Kebergunaan)

-       Ini tujuannya biar desainnya mantap dan bikin enak dipake.

-       Cara ngelakuinnya:

1.    Pilih user-tester yang cocok.

2.    Kasih tugas dan instruksi yang jelas.

3.    Cek respon dan feedback dari user-tester.

     Expert Review (Ulasan Ahli)

-       Ulasan ahli bisa jadi penentu desainnya keren banget.

-       Yang dinilai sama ahli:

1.    User interface yang nyaman dipandang dan digunakan.

2.    Fungsionalitas yang baik dan gampang dipahami.

3.    Navigasi yang nggak bikin pusing.

     Survei dan Kuesioner

-       Dengan survei dan kuesioner, kita bisa tahu keinginan pengguna dengan mudah.

-       Tips buat survei dan kuesioner:

1.    Buat pertanyaan yang simpel tapi informatif.

2.    Biar hasilnya berguna, analisis dan interpretasi jawaban pengguna.

 

Menggunakan Data Dalam Desain

     Penerapan pengumpulan dan analisis data dalam evaluasi desain:

Data itu penting banget dalam evaluasi desain, guys!

-       Kita perlu mengumpulkan data dari pengguna, seperti feedback, perilaku, dan preferensi mereka.

-       Nah, setelah itu, kita bisa menganalisis data tersebut untuk memahami kekuatan dan kelemahan desain yang ada.

     Penggunaan metrik dan indikator untuk mengukur kinerja desain:

Metrik dan indikator itu kayak alat ukur buat ngukur performa desain, nih!

-       Misalnya, kita bisa menggunakan metrik seperti kecepatan loading halaman, tingkat konversi, atau tingkat kepuasan pengguna.

-       Dengan menggunakan metrik ini, kita bisa tahu seberapa baik desain kita bekerja dan apa yang perlu diperbaiki.

     Penggunaan A/B testing untuk membandingkan variasi desain:

A/B testing itu seru banget, guys!

-       Jadi, kita bikin dua versi desain yang berbeda dan tes keduanya dengan pengguna.

-       Dari sana, kita bisa lihat mana yang lebih efektif dan memberikan hasil yang lebih baik.

-       A/B testing membantu kita memahami preferensi pengguna dan membuat keputusan berdasarkan data.

 

Nah, dengan menggunakan data dalam evaluasi desain, kita bisa membuat keputusan desain yang lebih cerdas dan berdasarkan fakta. Jadi, jangan lupa mengumpulkan data, memakai metrik yang tepat, dan mencoba A/B testing untuk menguji desain kita, ya!

 

Iterasi Desain Berdasarkan Hasil Evaluasi

     Menggunakan Hasil Evaluasi Desain untuk Perbaikan Desain Berkelanjutan

Jadi, setelah kita melakukan evaluasi desain, penting banget untuk ngambil hasilnya dan menggunakannya untuk memperbaiki desain kita. Evaluasi desain membantu kita melihat apa yang berfungsi dengan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Dengan menggunakan hasil evaluasi, kita bisa melakukan perubahan dan pengembangan yang lebih baik ke depannya.

 

     Mengelola Proses Iterasi dan Pengembangan Berkelanjutan Berdasarkan Evaluasi Desain

Iterasi itu kayak proses perbaikan dan pengembangan berulang. Jadi, setelah kita dapetin hasil evaluasi, kita akan melakukan iterasi berdasarkan hasil itu. Artinya, kita akan terus mengulang siklus evaluasi, perbaikan, dan pengembangan untuk membuat desain kita semakin baik. Kita harus mengelola proses ini dengan baik agar kita bisa tetap berjalan ke arah yang benar dan efisien.

 

     Studi Kasus tentang Perbaikan Desain Berdasarkan Evaluasi

Sekarang, kita bakal lihat contoh nyata tentang bagaimana evaluasi desain membantu dalam perbaikan desain. Mungkin ada sebuah produk atau aplikasi yang awalnya punya masalah atau fitur yang kurang bagus. Setelah melakukan evaluasi, pengembang bisa menggunakan hasil itu untuk memperbaiki masalah tersebut dan membuat produk atau aplikasi itu lebih baik. Jadi, dengan melakukan evaluasi desain, kita bisa mengidentifikasi masalah dan membuat perbaikan yang diperlukan. Kemudian, dengan mengelola proses iterasi berkelanjutan, kita bisa terus memperbaiki desain seiring waktu. Contoh studi kasus juga akan membantu kita melihat bagaimana evaluasi desain berdampak langsung pada perbaikan desain yang nyata. Semoga materi ini membantu kamu dalam studi independenmu!

 

 

What is product thinking?

 

Pertama-tama, mari kita bahas apa itu produk. Jadi, produk itu sebenarnya adalah benda atau hasil dari suatu tindakan atau proses. Tapi yang lebih menarik adalah prosesnya, yaitu bagaimana kita menciptakan produk itu. Nah, dalam proses itu ada tiga entitas yang berperan, yaitu pengguna, bisnis, dan teknologi.

 

Jadi, bayangin deh, pengguna itu tuh orang-orang yang butuh sesuatu, mereka punya masalah atau kebutuhan. Terus, bisnis itu adalah orang-orang yang bisa memberikan solusi atau produk untuk masalah pengguna itu. Nah, teknologi itu menjadi jembatan yang menghubungkan pengguna dan bisnis ini.

 

Jadi, pemikiran produk itu adalah perjalanan kita dari masalah pengguna ke solusi bisnis. Pokoknya, kita pengen mengurangi jarak antara apa yang pengguna butuh dan apa yang bisnis bisa kasih. Gitu deh!

Why is product thinking important?

Wah, nih, kita mau bahas alasan kenapa produk bisa gagal. Jadi, dulu Marc Andreessen pernah bilang, yang paling penting buat startup adalah dapetin kecocokan antara produk dan pasar. Nah, salah satu alasannya kenapa produk bisa gagal adalah karena nggak bisa nyamain kebutuhan pasar. Artinya, pelanggan butuh X, tapi bisnis malah ngasih Y. Ada banyak alasan kenapa bisnis bisa ngasih produk yang beda, misalnya mereka kurang ngerti banget apa yang pelanggan butuh, atau mereka punya kendala di bisnis mereka sendiri, atau kurang sumber daya dan tim, atau masih banyak alasan lainnya. Yah, intinya, nggak ada bisnis yang mau ngasih Y kalo pelanggan butuh X, tapi sayangnya itu sering terjadi.

 

Nah, sebenernya bisnis bisa ngapain buat ngindarin jebakan ini. Gimana ya? Nah, di sinilah konsep "pemikiran produk" bisa bantu ngebantu menghindarin situasi yang kayak gitu. Pemikiran produk ini tuh kayak aturan-aturan dasar yang bisa diikutin buat ngurangin kemungkinan produk gagal.

Rule #1: Love the problem, not your solution.

Cintai masalahnya, jangan terlalu fokus pada solusinya. Ini adalah sebuah prinsip penting yang diajarkan oleh Ash Maurya. Dalam artikel yang berjudul sama, dia menjelaskan tentang pentingnya menghindari jebakan ini dengan memusatkan perhatian pada masalah yang ada. Prinsip ini dapat membantu kita dalam dua hal: pertama, menghilangkan bias inovator, dan kedua, membantu kita memahami target pasar, pengguna, dan kebutuhan mereka dengan lebih baik.

 

Jadi, mulailah dengan memahami masalahnya. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan seperti: Apa masalah yang sebenarnya? Siapa yang mengalami masalah ini? Dan mengapa mereka menghadapi masalah ini? Hal ini akan membantu kita memahami pasar (yaitu, apakah ada sekelompok orang dengan masalah yang serupa) dan juga menciptakan persona yang lebih baik (sebagai representasi dari sampel pengguna dan bukan hanya sekadar persona pemasaran). Ketika kita menghubungkan "pekerjaan yang harus diselesaikan" (JTBD) dengan persona ini berdasarkan sampel yang kita punya, baru kita akan mulai menggali lebih dalam tentang ruang masalah tersebut (kami akan membahas lebih lanjut tentang "pekerjaan yang harus diselesaikan" di postingan ini).

 

Jadi, mari kita selalu berfokus pada masalahnya dan mengerti dengan baik sebelum mencari solusinya. Dengan begitu, kita dapat mencari solusi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna dan pasar dengan lebih baik.

Rule #2: Think in products, not in features.

 

Ada artikel menarik nih tentang "Kenapa berpikir tentang produk itu penting banget dalam desain UX" yang ditulis oleh Nikkel Blasse. Dalam artikel ini, Nikkel ceritain betapa pentingnya kita mikirin produk secara keseluruhan dan bukan hanya fokus sama fitur-fiturnya.

 

Jadi, berpikir tentang produk itu artinya kita harus ngeliat gambaran besar, bukan cuma detail-detail kecilnya. Kita harus bisa liat masalah yang ada dan nggak cuma stuck di satu solusi aja buat masalah itu.

 

Berpikir tentang produk itu juga artinya kita ngertiin masalahnya secara komplit. Nah, saat kita udah paham masalahnya dengan baik, baru deh kita bisa pilih fitur yang tepat buat produk kita. Hal ini bermanfaat buat nggak boros-borosin waktu dan sumber daya, dan sebaliknya, bikin kita jadi lebih efisien. Ingat, produk yang sukses udah sering banget nunjukin kalo pengguna nggak terlalu peduli sama fiturnya. Yang mereka pengen cuma bisa mencapai tujuan mereka pake produk kita. Makanya, konsep Jobs-to-be-done (JTBD) itu berguna banget buat ngertiin gimana produk/layanan kita bisa membantu pengguna.

 

Jadi, intinya, berpikir tentang produk itu penting banget dalam desain UX. Dengan berpikir dalam skala besar dan nggak fokus ke detail aja, kita bisa bikin produk yang lebih sukses dan gampang dipahami sama pengguna.

Rule #3: Have your product heuristics in place before writing your first line of code.

Bangun produk perangkat lunak itu kayak naik gunung, terus mesti banyak banget pit stop-nya. Heuristik ini bisa bantu kita menentuin arah yang mau dicapai, kayak peta gitu. Nah, heuristik ini nanti juga bisa kita pakai buat ngecek, udah siap atau belum produk kita buat di-launching. Heuristiknya dibagi jadi dua jenis, yang satu berdasarkan apa yang pengen dicapai dari produk akhirnya, yang satunya lagi berdasarkan reaksi yang pengen kita liat dari user-nya. Kalo kita pake heuristik yang kombinasi dari dua jenis itu, insyaallah produk kita bakal jadi keren banget deh. Oh iya, coba liat heuristik di gambar ini ya, yang nomor 01 dan 02 itu untuk atribut fisik yang pengen ada di produk, sedangkan yang nomor 03, 04, dan 05 itu buat reaksi yang pengen kita liat dari penggunanya.

 

How can you cultivate product thinking?

Salah satu hal yang menarik dari buku Scott Adams, "Bagaimana gagal di hampir semua hal dan tetap menang besar", adalah betapa pentingnya memiliki "Sistem" dalam hidup kita. Nah, apa itu sistem? Sistem itu adalah hal-hal yang kita lakukan secara teratur untuk meningkatkan peluang kita sukses atau bahagia dalam jangka panjang. Jadi, jika kita ingin menjadi lebih baik dalam berpikir tentang produk, kita juga perlu memiliki sistem di sekitarnya. Sistem ini adalah alat-alat dan kerangka kerja yang membantu kita mengembangkan ide-ide inti kita. Nah, aku punya beberapa alat dasar yang bisa kamu coba, dan jangan khawatir, ini yang versi dasar, jadi gampang dipahami. Ada tiga alat untuk membantu kamu memahami masalah, dan tiga alat lagi untuk membantu kamu menemukan solusinya.

 

Problem Space Tool #1: 5W1H (What, Who, Why, Where, When, & How)

5W1H adalah alat tanya jawab yang seru buat kita pahami masalah dengan lebih baik. Tapi gak ada aturan khusus, kita bisa tanya pertanyaan W ini dalam urutan yang kita mau. Misalnya, kita hadapi masalah, kita bisa tanya: Apa sih masalahnya? Siapa yang terlibat? Kenapa masalah ini muncul? Dimana ini terjadi? Kapan masalah ini mulai muncul? Terus, bagaimana ya kita bisa selesaikan masalah ini? Kita bisa eksperimen dengan pertanyaan dan urutan W-nya sesuai dengan masalah yang kita hadapi. Yuk, kita jadi kreatif dalam menghadapi masalah!

 

Problem Space Tool #2: Moms Test (Foolproof your questions)

Saya lagi ngecek hal tentang cara mengurangi bias dalam data pengguna pada proyek tahun lalu, dan nemuin satu konsep keren dari Rob Fitzpatrick yang namanya "Tes Ibu". Konsepnya simpel banget dan bisa bantu kita liat hubungan antara pikiran kita dengan kata-kata yang tepat dan gimana itu mempengaruhi cara kita berpikir.

 

Tes Ibu itu sebenernya tentang bikin pertanyaan yang bagus, sampe-sampe ibumu sendiri juga nggak bisa bohongin kamu. Misalnya, kalo kamu nanya pengguna tentang kebiasaan fitness mereka, daripada nanya, "Kamu sering ke gym buat olahraga?" pertanyaan kayak gitu bisa bawa banyak bias di jawabannya, dan pengguna juga bisa bohong berdasarkan rasa tidak aman atau rasa bersalah. Nah, menurut tes Ibu, kamu bisa gampang aja nanya, "Minggu lalu kamu ke gym berapa kali?" Dengan pertanyaan ini, kemungkinan dapet jawaban yang jujur tanpa bias meningkat.

 

Problem Space Tool #3: Jobs-to-be-done (JTBD)

Nah, ide yang simpel nih! Jadi, ketika kita mau ngertiin masalah yang ada, kita bisa mulai dengan nanya begini, "Apa sih kerjaan yang sering ditemuin orang dan bisa diatasi pake produk kita?" Gitu loh! Pertanyaan ini bantu kita buat mulai ngerangkum apa yang lagi dihadepin sama pengguna, ngertiin masalahnya, solusi yang udah ada sekarang, dan ada celah apa aja.

 

Sekarang, kita punya alat buat lebih ngehargai masalah yang ada dan bantu temuin peluang atau kekurangan di sistem. Yuk, masuk ke ruang solusi dan alat-alatnya!

 

 

Solution Space Tool #1: Get better at constructing hypothesis statement

 

Pernyataan hipotesis yang bagus adalah cara kita menjelaskan ide kita yang bisa diuji. Jadi, ide-ide yang tidak bisa diuji bukanlah hipotesis yang valid. Sebagai orang yang bekerja di bidang produk, penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara ide, hipotesis, dan asumsi. Ide banyak sekali, tapi tidak semua bisa menjadi hipotesis. Hanya ide-ide yang bisa diuji yang bisa dianggap sebagai hipotesis. Setiap hipotesis dilengkapi dengan asumsi-asumsi yang perlu diuji dan divalidasi saat kita mengembangkan produk. Asumsi juga ada pada ide, tapi jika ide tersebut bukan hipotesis, maka asumsi tersebut tidak penting.

Cara termudah untuk membuat pernyataan hipotesis untuk menguji ide dan mengidentifikasi bagian yang bisa diuji dari asumsi dasarnya adalah dengan menggunakan templat hipotesis yang disebut oleh Josh Seiden dan Jeff Golthelf dalam buku "Lean UX". Templat ini terdiri dari beberapa bagian penting, seperti hipotesis solusi, hipotesis pasar, hasil yang dapat diukur, dan petunjuk untuk mengonfirmasi hasil tersebut. Ini adalah alat yang sangat berguna untuk kita dalam mengembangkan solusi yang baik dan mudah dipahami.

 

Solution Space Tool #2: Get creative with problem solving

Saat kamu mulai mencari solusi, cari aja yang udah terbukti sukses. Bisa liat dari contoh-contoh model berikut ini, yang bisa jadi titik awal buat solusimu:

 

Transform: Ambil solusi yang udah ada di satu bidang, terus terapin ke bidang lain. Misalnya, kayak Uber, tapi buat hewan peliharaan, atau buat pasien, atau buat hal atau orang lain.

Minimalkan: Kurangin aja solusi yang udah ada. Misalnya, waktu YouTube udah terlalu kompleks buat berbagai macam orang, Khan Academy sukses karena cuma fokus ke siswa dan kebutuhan mereka akan konten pembelajaran yang lebih simpel.

Maksimalkan: Perluasin aja solusi yang udah ada. Misalnya, Snapchat mulai dengan video singkat pribadi, terus Instagram perluasin konsep itu dengan influencer, dan terus TikTok dateng dengan model yang sama tapi buat semua orang.

Ubah atau Susun Ulang: Modifikasi solusi yang udah ada. Misalnya, Notion inovasi dari semua masalah yang pengguna Evernote hadapi (soalnya Evernote udah lama nggak ada inovasi), trus ubah dan tingkatin kualitas produknya biar lebih bagus dan enak dipake.

Pengganti: Ganti bagian dari solusi yang udah ada. Misalnya, e-book reader. Meskipun ide baca buku elektronik udah ada dari dulu, baru jadi besar pas iPhone diperkenalkan. iPhone jadi bikin orang bisa baca lebih lama di perangkat mereka, yang akhirnya ngebuka pasar buat e-book reader kayak Kindle, Nook, Kobo.

Menggabungkan: Gabungin beberapa solusi yang udah ada jadi satu. Contohnya aplikasi-aplikasi super kayak Alipay, Grab, Gojek. Tapi ini lebih cocok buat tahap pertumbuhan lebih lanjut, bukan buat produk awal. Jangan lompatin tahap Minimum Viable Product dan pendekatan yang lebih simple.

 

 

Solution Space Tool #3: Start focusing on the outcome and not output

Sebagai pemikir produk atau manajer produk, sekarang kita harus lebih fokus pada hasil yang kita dapatkan daripada hanya mencari keluaran. Kita harus melihat nilai yang kita hasilkan dalam hubungannya dengan perkiraan usaha pengembangan, serta seberapa akurat produk kita dalam menjalankan tugasnya versus seberapa sederhananya produk tersebut. Nah, poin terakhir ini agak membingungkan bagi beberapa orang, terutama para desainer. Jadi, mari saya jelaskan dengan cara yang lebih sederhana.

 

Albert Einstein pernah mengatakan, "Tujuan utama teori adalah membuat hal-hal dasar se-simple mungkin, tetapi tidak lebih simple dari itu tanpa kehilangan esensi dari pengalaman yang ingin kita sampaikan." Itu terdengar sangat ilmiah, ya kan? Tapi apa artinya sebenarnya? Komposer musik bernama Roger Sessions juga mengungkapkan hal yang sama dengan kata-kata yang lebih mudah dipahami, yaitu "Semua harus disederhanakan sebanyak mungkin, tapi jangan sampai terlalu sederhana." Jadi, maksud saya dengan mengatakan "akurasi daripada kesederhanaan" adalah kita harus lebih mengutamakan akurasi sebagai manajer produk. Itu bukan berarti kesederhanaan tidak penting, tapi jika kita harus memilih antara kesederhanaan dan akurasi, kita selalu memprioritaskan akurasi. Jadi, jangan terlalu fokus untuk hanya mengurangi jumlah klik dalam proses belanja, tetapi lebih fokus pada tujuan di balik tindakan menambahkan barang ke keranjang belanja.

 

Jadi intinya, mari kita berusaha mencapai hasil yang baik, mempertimbangkan upaya yang diperlukan, dan pastikan produk kita akurat dalam menjalankan tugasnya. Kesederhanaan tetap penting, tapi tidak boleh mengorbankan akurasi.


 

 

 

Referensi :

 

Product Thinking 101 | UX Planet

46 UX Case Studies To Improve Your Product Skills (growth.design)

How do we evaluate User Experience (UX)? | by William Belk | Medium

Last modified: Wednesday, 9 August 2023, 9:23 AM